Purbalingga – Galuh Purba, kerajaan tertua di Pulau Jawa disebut berada di wilayah lereng Gunung Slamet. Kerajaan itu, menurut berbagai referensi adalah induk dari kerajaan-kerajaan berikutnya di wilayah yang dulu disebut dengan Jawa Dwipa.
“Berdasarkan catatan Sejarawan Belanda W.J. van der Meulen dalam bukunya ‘Indonesia di Ambang Sejarah’ (1988), terbentuk kerajaan pertama di Pulau Jawa bernama Galuh Purba pada abad 1 Masehi yang berpusat di lereng Gunung Slamet,” ujar Gunanto Eko Saputro, pemerhati sejarah Purbalingga dalam Diskusi Historia Perwira dengan tema ‘Galuh Purba : Kerajaan tertua di Jawa ada di Purbalingga?’ di Kedai Pojok, Minggu (27/03).
Sebagai informasi, Van der Meulen adalah seorang misionaris juga pendidik dengan keahlian di bidang filsafat dan sejarah. Ia merupakan pendiri Program Studi Sejarah Univesitas Sanata Dharma.
Gunanto menambahkan dari riset Van der Meulen disebutkan para pendiri Kerajaan Galuh Purba merupakan pendatang yang berasal dari Kutai, Kalimantan Timur pada zaman pra Hindu. Mereka masuk melalui Cirebon, lalu berpencar di pedalaman dan mengembangkan peradaban di sekitar Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu.
Mereka yang menetap di sekitar Gunung Cermai mengembangkan peradaban Sunda. Sedang yang berada di Gunung Slamet berinteraksi dengan penduduk setempat dan kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Galuh Purba tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang besar dan disegani. Menurut van der Meulen, hingga abad ke-6 M wilayah kekuasaannya cukup luas meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Kerajaan itu mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan kerajaan dan kadipaten di berbagai pelosok Jawa dengan pemimpin yang sebenarnya masih berkerabat. Sebagian besar menggunakan nama Galuh, seperti Galuh Rahyang dan Galuh Kalangon yang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan. Kemudian, Galuh Lalean di Cilacap dengan ibukota di Medang Kamulan, Galuh Tanduran di Pananjung dengan ibukota di Bagolo, Galuh Kumara lokasi di Tegal dengan ibukota di Medangkamulyan, Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah ibukotanya Pataka. Lalu ada Galuh Nagara Tengah di Cineam beribukota Bojonglopang, Galuh Imbanagara di Barunay (Pabuaran), ber ibukota di Imbanagara dan Galuh Kalingga lokasi di Bojong beribukota di Karangkamulyan
“Lalu, atas berbagai sebab, pada abad ke 6 Kerajaan Galuh Purba kemudian berpindah ke Kawali dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali,” imbuh Gunanto.
Keturunan-keturunan Galuh Purba ini menyebar dan mendirikan berbagai macam kerajaan dan melahirkan Wangsa Syailendra, Dinasti Sanjaya yang selanjutnya melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. “Oleh karena itu, bisa dibilang Galuh Purba dari Lereng Gunung Slamet inilah induk dari kerajaan-kerajaan di Jawa,” imbuh Gunanto.
Gunanto menambahkan jejak ‘ketuaan’ Galuh Purba bisa terlihat dalam kajian Eugenius Marius Uhlenbeck yang ditungkan dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura” (1964). Dalam kajiannya, ahli filologi berkebangsaan Belanda itu menyiratkan bahwa rumpun Bahasa Banyumasan yang eksis saat ini lebih tua dibandingkan dari sub bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Pulau Jawa lainnya. “Bahasa Ngapak inilah yang ditengarai digunakan oleh masyarakat Kerajaan Galuh Purba,” katanya.
Lalu, di manakah tepatnya Galuh Purba? Kajian Van der Meulen tidak menyebut lokasi tepat, hanya menyebut di sekitar wilayah Gunung Slamet. Hal itu berarti kemungkinan bisa di wilayah yang kini masuk Banyumas, Brebes, Tegal, Pemalang atau Purbalingga.
“Memang belum ada catatan pasti, namun setidaknya di Purbalingga ditemukan dua prasasti, yaitu Prasasti Cipaku dan Prasasti Bukateja yang diperkirakan berasal dari sekira abad ke 5. Kalau di wilayah lereng Gunung Slamet lain, belum ditemukan prasasti,” ujar Gunanto.
Prasasti Cipaku berada di Dukuh Pangebonan, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet yang tertulis dalam Huruf Pallawa berbahasa Sansekerta. Sementara Prasasti Bukateja yang terbuat dari emas saat ini disimpan di Museum Leiden, Belanda.
Kemudian, selain itu juga ditemukan berbagai macam artefak seperti phalus, menhir, lingga yoni, arca dan beberapa peninggalan bersejarah era pra hindu sampai hindu-budha di Purbalingga. “Hal ini membuktikan daerah kita sudah dihuni peradaban pada era tersebut,” katanya.
Selanjutnya, pada beberapa kisah sejarah dan legenda, banyak Bangsawan Sunda yang menyepi ke Wilayah Panginyongan. Misalnya, Syeh Jambu Karang, pendiri Perdikan Cahyana dan diakui sebagai salah satu leluhur Wong Purbalingga adalah pangeran dari Kerajaan Pajajaran bernama Raden Mundingwangi. Petilasannya yang ada di Gunung Ardi Lawet, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang masih dikeramatkan hingga kini.
Kemudian, kompleks Goa Lawa / Lava, Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja ada petilasan yang dipercaya berhubungan dengan tokoh-tokoh dari Kerajaan Pajajaran. Pertama, ada tumpukan batu yang disebut sebagi lokasi Pertapaan Prabu Siliwangi. Kedua, ada Gua Ratu Ayu yang dihuni oleh Endang Murdiningsih dan Endang Murdaningrum, dua putri Prabu Siliwangi.
“Mereka datang ke wilayah ‘Bumi Panginyongan’ bukan tanpa maksud, melainkan ‘pulang kampung’ ke tanah leluhurnya,” kata Gunanto yang juga penulis Novel Tepus Rumput.
Lebih lanjut, pada forum yang sama, Dosen FISIP Unsoed Indaru Setyo Nurprojo menambahkan kajian-kajian tentang Kerajaan Galuh Purba memang sudah cukup banyak dikupas. Sayangnya, ujar Indaru, memang belum ada yang menyebutkan dengan pasti di mana pusatnya.
“Secara akademik memang belum ada kepastian tentang dimana tepatnya Kerajaan Galuh Purba, namun saya secara pribadi meyakini bahwa wilayah di lereng Gunung Slamet sebelah timur termasuk Purbalingga sampai ke Dieng merupakan wilayah dengan peradaban yang cukup tua,” ujar doktor ilmu politik itu.
Indaru mengharapkan ke depan ada kajian-kajian akademik untuk mengupas misteri yang masih tersembunyi tentang Kerajaan Galuh Purba.
Sementara itu, Budayawan Purbalingga Agus Sukoco menyebutkan secara historis Purbalingga memiliki jejak ketuaan. Selain Galuh Purba, Ia mencontohkan Purbalingga merupakan pusat dari Kadipaten Wirasaba yang merupakan induk dari Banyumas Raya kini.
“Kita berpijak saja pada sejarah Kadipaten Wirasaba yang terjadi ‘Peristiwa Mrapat’ pada 1571 masehi. Ini lebih pasti, ada babadnya. Itu saja sudah bisa menjadikan dasar bahwa Purbalingga seharusnya lebih tua dibandingkan dengan wilayah lain di sektarnya,” katanya.
Hal itu, ujar Agus, membuktikan Purbalingga memiliki jejak peradaban yang tua. “Apalagi dengan berbagai temuan sejak era purbakala, prasasti, artefak dan lain sebagainya yang dipaparkan oleh Mas Igo di awal,” imbuhnya.
Kepala Desa Ponjen, Romidi yang hadir dalam diskusi tersebut menyebutkan bahwa di wilayah desanya juga terdapat jejak-jejak peradaban masa silam. Desa Ponjen di Kecamatan Karanganyar terdapat Situs Tipar yang merupakan peninggalan perbengkelan purba sampai temuan Lingga Yoni yang menandakan peradaban era hindu.