Ebeg merupakan salah satu seni tradisional yang masih diminati masyarakat di Kabupaten Purbalingga, hingga dianggap sebagai kesenian rakyat.
Di daerah lain, Ebeg lazim disebut dengan kuda lumping atau kuda kepang. Berupa tari tarian tradisional menggunakan alat berupa anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda dengan iringan gamelan dan nyanyian berbahasa Banyumasan.
Umumnya pemain Ebeg adalah laki-laki, namun saat ini tak jarang kita jumpai ebeg dimainkan oleh perempuan ataupun remaja putri.
Keterangan Foto : Salah satu pemain Ebeg perempuan dari grup Wahyu Mego Saputro tampil pada Acara Penutupan TMMD Sengkuyung II di Desa Pagerandong Kecamatan Kaligondang, Purbalingga
Seperti halnya Grup Kesenian Ebeg “Wahyu Mego Saputro” asal Desa Selakambang yang tampil pada acara penutupan Tentara Nasional Indonesia Manunggal Membangun Desa (TMMD) Sengkuyung II di Desa Pagerandong Kecamatan Kaligondang Purbalingga.
Keterangan Foto : Penampilan Grup Wahyu Mego Saputro tampil pada Acara Penutupan TMMD Sengkuyung II di Desa Pagerandong Kecamatan Kaligondang, Purbalingga
Grup ini terdiri dari 8 orang pemain ebeg (penari) yang salah satunya adalah perempuan. 15 orang penabuh gamelan dan penyanyi atau sinden.
Lagu-lagu yang dinyanyikan untuk mengiringi Ebeg diantaranya berjudul Ricik Ricik Banyumasan, Eling-Eling, Thole-Thole dan Ana Maning Modele Wong Purbalingga.
Ebeg biasanya dimainkan dari pagi hingga petang hari dengan tarif beragam antara 6juta hingga 8juta rupiah. (*ibar)
Betul sekali mas, banyak nama tetapi tetap satu arti, seperti di daerah daerah lain. Ada yang menamakan jaran kepang, jathilan dan sebagainya.
Di kota jakarta, di kota metropolitan, kalau kita mau menelusuri, masih ada grup grup kesenian yang memainkan nya, contohnya saja di daerah kemayoran jakarta pusat, yang saya ketahui ada 3-4 sanggar. Belum di daerah lain.
Pokoknya banyak deh, kalau kita mau menelusuri mah.